Monday, January 10, 2011

Kesusastraan Indonesia dan Kebimbangan (2)

Larangan tersebut muncul sebagai sejenis pembebasan, malgre soi. Para sastrawan Manifes menemukan kemerdekaan mereka yang sejati justru dalam membisu: diam dalam kepompong pengasingan yang ganjil itu, mereka terus menulis, tidak ditulari oleh kesusastraan resmi yang mewabah di luar, yang sarat dengan slogan yang diulang-ulangi tentang perjuangan dan revolusi.

Nyoto, teoritikus partai dan tokoh penting kedua setelah D.N. Aidit, adalah seorang penulis prosa yang cemerlang. Sebagian besar karena daya tarik pribadi dan usahanyalah LEKRA berangsur-angsur merebut simpati para seniman dan sastrawan terkemuka Indonesia, seperti Pramoedya Ananta Toer, novelis Angkatan ‘45.

Tetapi yang tetap lebih penting adalah pengaruh LEKRA terhadap persaingan di antara partai-partai yang ada: LEKRA mendorong mereka untuk mendirikan lembaga kebudayaan masing-masing. PNI mendirikan LKN (Lembaga Kebudayaan Nasional) dengan tokoh utama Sitor Situmorang. NU mendirikan LESBUMI (Lembaga Seniman dan Budayawan Muslimin) dengan tokoh Asrul Sani, salah satu dari tiga penyair Tiga Menguak Takdir (bersama Chairil Anwar almarhum dan Rivai Apin, yang bergabung dengan LEKRA).

Demikianlah slogan orang komunis, “Politik Sebagai Panglima” mendapat kemenangan. Tahun 60-an menyaksikan suatu bentuk patronase baru ditanamkan dalam kehidupan kebudayaan Indonesia: partai-partai politik bertindak sebagai pelindung, yang memberi proteksi atau pengayoman kepada para seniman dan sastrawan dari kekurangan materi dan juga kritik secara publik.

Situasi pada saat itu cukup mengingatkan kepada kesenian dan kesusastraan yang berpusat kepada kraton di masa lampau, di mana ekspresi individual pada umumnya mustahil. Yang terasa adalah sikap kelompok.

Tapi di luar itu puluhan seniman dan sastrawan masih belum mengikatkan diri. Situasi yang ada, dengan desakan dari kekuatan-kekuatan politik yang dominan masa itu —termasuk desakan untuk menyatakan sikap memihak menyebabkan sejumlah sastrawan, pelukis dan cendekiawan yang independen mengumumkan dan menandatangani sebuah manifesto dalam tahun 1963. Manifesto itu disebut “Manifes Kebudayaan.”

Teksnya berbunyi: “Kami para seniman dan cendekiawan Indonesia dengan ini mengumumkan sebuah Manifes Kebudayaan, yang menyatakan pendirian, cita-cita dan politik Kebudayaan Nasional kami.

“Bagi kami kebudayaan adalah perjuangan untuk menyempurnakan kondisi hidup manusia. Kami tidak mengutamakan salah satu sektor kebudayaan di atas sektor kebudayaan yang lain. Setiap sektor berjuang bersama-sama untuk kebudayaan itu sesuai dengan kodratnya.

“Dalam melaksanakan kebudayaan Nasional kami berusaha, mencipta dengan kesungguhan yang sejujur-jujurnya sebagai perjuangan untuk mempertahankan dan mengembangkan martabat diri kami sebagai bangsa Indonesia di tengah-tengah masyarakat bangsa-bangsa.

“Pancasila adalah falsafah kebudayaan kami.”

Bersamaan dengan teks tersebut, ada bagian yang agak panjang berisi “penjelasan” yang mengemukakan, dengan gaya bahasa yang lebih bersifat polemis, tujuan selanjutnya dari Manifes itu.

Mereka yang tak mengenal bahasa politik Indonesia pada masa itu dan berada di luar suasana politik pertengahan tahun 60-an, akan merasakan bahwa teks tersebut agak membingungkan, malahan tak masuk akal. Manifes itu memang ditulis dengan berhati-hati, mengingat makin sulitnya orang berbicara bebas di masa itu, dan kalimatnya tersusun kurang lebih dalam bahasa Aesopian. Bahkan ada banyak jargon-jargon revolusi di dalamnya, sesuai dengan keterbatasan bahasa masa itu. Hanya dengan membaca secara kritis seseorang dapat menemukan pendapat-pendapat yang tajam di dalamnya, dan pendirian yang kontroversial.

Manifes tersebut jelas membidik prinsip-prinsip kesusastraan komunis, dan menolak campur tangan kekuasaan pada umumnya terhadap penciptaan. Dalam satu rentetan argumen, Manifes menyerang “realisme sosialis”. Ia juga menggugat cita-cita revolusioner yang memimpikan dunia yang sempurna—satu cita-cita yang, menurut Manifes, menyebabkan segala cara dapat dipakai untuk mencapainya. Dengan menganggap tak ada satu sektor kebudayaan pun yang lebih tinggi dari yang lain, Manifes pun menentang berlakunya “Politik Sebagai Panglima” dan menolak hak pemegang kekuasaan untuk mendikte kesenian: penciptaan harus dilakukan “dengan kesungguhan yang sejujur-jujurnya.”

Tak disangsikan lagi bahwa Manifes merupakan suatu usaha untuk memulihkan tanggung jawab individu dalam bidang seni dan sastra. Sebagian besar dari mereka yang menandatangani Manifes mungkin tidak menyadari hal ini.

Sekalipun demikian, mereka tahu, bahwa untuk benar-benar bersungguh-sungguh dalam karya-karya kreatif, seorang seniman memerlukan ketulusan. Dengan kata lain, bukan sesuatu yang dipesan. Dan dengan itulah para sastrawan mengasumsikan suatu kebudayaan yang sama dengan para pengendali politik. Mereka menentang patronase atau suaka yang disediakan.

Dalam arti tertentu, Manifes adalah suatu usaha untuk mengisi kekosongan yang masih terdapat dalam ideologi Soekarno sehubungan dengan garis-garis besar “kebudayaan nasional”. Suatu konperensi sastrawan pun diadakan segera setelah diumumkannya Manifes—jelas untuk menyusun basis politik yang kuat bagi para sastrawan independen di seluruh tanah air.

Kaum komunis, seraya mengisyaratkan bahwa baik Manifes maupun konperensi itu merupakan pertemuan kaum “kontra-revolusioner,” dan menduga bahwa kekuatan independen itu disponsori oleh angkatan bersenjata yang waktu itu merupakan lawan politik mereka, mengadakan kampanye pers besar-besaran yang menyerang.

Media massa waktu itu memang sudah berada dalam pengaruh mereka, dan akhirnya mereka memperoleh kemenangan. Manifes Kebudayaan dilarang oleh Presiden (8 Mei 1964), dan konperensi tersebut berakhir dalam kegagalan. Peristiwa itu mengubah wajah kesusastraan Indonesia, setidaknya di permukaan.

Dari peristiwa itu tidak benar untuk disimpulkan, bahwa Manifes adalah suatu gerak yang pada mulanya anti-Soekarno.

Tidak pula ia “kontra-revolusi.” Ada sejumlah besar kutipan yang antusias dari pidato-pidato Bung Karno, baik dalam bagian penjelasan Manifes maupun dalam pelbagai tulisan polemik Wiratmo Sukito atau H.B. Jassin. [5]

Sementara itu, beberapa sastrawan dari kelompok Manifes mencoba pula membuktikan semangat revolusi yang besar dalam gaya mereka sendiri. Mereka menulis esei, cerita pendek dan puisi dengan tema-tema revolusi yang biasa: kehidupan buruh, epos perang kemerdekaan, dan sebagainya. Dua kumpulan cerita pendek oleh Bur Rasuanto, Bumi yang Berpeluh dan Mereka Akan Bangkit, yang ditulis selama periode ini, muncul sebagai contoh dari corak kesusastraan yang waktu itu dominan. Kedua kumpulan karya ini berbicara dengan simpati besar kepada yang jelata, terutama buruh minyak.

Tetapi masih tetap saja terdapat garis pemisah antara sastrawan independen semacam itu di satu pihak, dengan mereka yang benar-benar pengikut Soekarno dan menganut garis Partai Komunis di pihak lain. Garis pemisah itu tak selalu berada di tempat yang dapat diperkirakan oleh orang luar, atau orang dari masa lain, tetapi ia waktu itu selalu terasa.

Mungkin garis itu tak tampak, tetapi para penulis komunis dan Soekarnoisme agaknya senantiasa diingatkan akan kehadirannya. Manifes Kebudayaan mendapatkan tradisi intelektualnya dari Chairil Anwar, dari Albert Camus dan Boris Pasternak—mereka yang kurang-lebih menjalankan the pollitics of the unpolitical. Kaum Soekarnois, dan terutama kaum komunis, di pihak lain memperoleh tradisi pemikiran kesusastraannya dari Lenin dan Mao Tse-tung.

Kedua kelompok ini kadang menggunakan kata-kata yang sama, tetapi Bahasa mereka berbeda. Sebagai akibatnya, perdebatan mengenai kebudayaan nasional yang dibuka oleh kelompok Manifes hanyalah sesuatu yang tidak membawa hasil selain kegaduhan besar dalam suatu pseudo-dialog. Presiden Soekarno, tanpa menunjukkan perhatian apa pun terhadap dialog ini, akhirnya tampil dan mengakhiri perbuatan yang sia-sia itu. Ia melarang Manifes Kebudayaan.

Larangan itu, dan gerakan “pembersihan” terhadap para pengarang penandatanganan Manifes, menempatkan para sastrawan independen dalam posisi “bawah tanah.” Rezim yang berkuasa saat itu telah mencutikan mereka, tanpa hak lagi untuk ikut dalam paduan suara ideologi nasional.

Ini menyadarkan mereka, atau setidaknya sebagian dari mereka, tentang betapa asingnya warna ide mereka yang bernoktah-noktah Barat itu bagi perasaan yang waktu itu berkuasa.

Akibatnya, dalam arti tertentu, mereka dibebaskan, baik dari angan-angan maupun dari keinginan untuk memberi konsesi—semata-mata karena bangunan politik yang ada telah menolak mereka. Larangan tersebut muncul sebagai sejenis pembebasan, malgre soi. Para sastrawan Manifes menemukan kemerdekaan mereka yang sejati justru dalam membisu: diam dalam kepompong pengasingan yang ganjil itu, mereka terus menulis, tidak ditulari oleh kesusastraan resmi yang mewabah di luar, yang sarat dengan slogan yang diulang-ulangi tentang perjuangan dan revolusi.

Dalam kondisi semacam itu, beberapa sastrawan berhasil mengembangkan gaya penulisan mereka sendiri, sesuai dengan ideal mereka tentang “integritas.” Sebagian kecil berhasil menerbitkan karya-karya mereka dengan nama samaran bermacam-macam. [6]

Demikianlah menjelang berakhirnya periode Soekarno nampak perkembangan kesusastraan Indonesia berjalan di dua arah. Yang pertama, milik mereka yang mengikuti garis resmi, terdiri dari beberapa karya “revolusioner” yang sesungguhnya—dengan sedikit perkecualian—tak mempunyai arti artistik yang menonjol. Yang kedua, milik para sastrawan yang setengah, atau sepenuh badan, berada di “bawah tanah.” Yang terakhir ini terdiri dari karya-karya yang tidak diterbitkan dan penulisan literer yang sporadis, yang dikerjakan dengan nada berhati-hati. Jelaslah bahwa para sastrawan ini berusaha untuk tetap hadir tanpa diketahui, bertiarap dan membiarkan atau menyimak apa yang sedang bergolak dalam belantara politik di Indonesia.

Walaupun demikian, apa yang sedang bergolak waktu itu sukar sekali untuk ditebak. Baru ketika “Gerakan 30 September” gagal memenangkan pergulatan kekuasaan yang, berlangsung diam-diam tapi tegang itu, dan kaum komunis serta kaum Soekarnois jatuh dari tepi bangunan puncak kekuasaan, banyak hal terurai lepas. Tapi gelombang demonstrasi mahasiswa di sekitar tahun 1966-lah yang akhirnya menunjukkan bahwa ada sesuatu yang membusuk dalam Negeri Indonesia—tapi tidak semuanya demikian: tahun 1966 secara umum diterima sebagai awal dari suatu bab baru dalam sejarah Indonesia.

Dalam bulan Agustus 1966, H.B. Jassin “wali penjaga kesusastraan Indonesia modern,” seperti yang dengan tepat dikatakan Teeuw, memproklamasikan kelahiran generasi kesusastraan yang lainnya, “Angkatan 66.”

Apakah konsepsi generasi baru ini? Prinsip-prinsip dari Pancasila, kata H.B. Jassin. Tugas Angkatan 66 adalah untuk “membela Pancasila” dan mencegah timbulnya lagi pemerintahan tirani…. [7]

Dengan “tirani” yang ia maksudkan, tentu saja, satu rezim tipe Soekarno. Jelaslah bahwa proklamasi H.B. Jassin ini berdasarkan argumen-argumen di luar sastra. Pancasila telah jadi slogan tanpa suatu perumusan yang definitif. Kenyataan bahwa kritikus yang terkenal ini dengan rasa tak risih mempergunakan abacadabra seperti itu dalam proklamasinya yang mengejutkan tadi, menunjukkan betapa sulitnya, buat seorang penulis berpikiran bebas sekalipun, untuk secara utuh melintasi suasana militan yang mencapai klimalksnya di tahun 1966.

Cukup penting sebagai petunjuk adalah antusiasme Jassin dalam mencukil beberapa “puisi perjuangan” yang ditulis oleh penyair-penyair muda Indonesia ketika pembangkangan mahasiswa itu berlangsung. Di hari-hari itu memang banyak sastrawan, lebih-lebih dari kelompok Manifes, ikut serta dalam gelombang demonstrasi-demonstrasi antipemerintah yang akhirnya menyebabkan Presiden Soekarno terdesak, sejak 1966. Mereka menulis pamflet, poster, kata-kata galak di tembok-tembok kota dan, tentu saja, puisi. Beberapa kumpulan sajak muncul tak lama setelah demonstrasi mereda, meskipun sebelumnya sudah ada yang beredar, distensil, di kalangan anti-pemerintah dengan nama penulisnya —waktu itu masih dianggap “terlarang”— disamarkan.

Puisi-puisi ini sebenarnya tidak mempunyai nilai kesusastraan tersendiri. Mereka ditulis pertama-tama untuk menyatakan rasa solidaritas para pengarang dengan perjuangan mahasiswa. Kecuali beberapa sketsa pendek Taufiq Ismail dalam kumpulan Tirani dan Benteng, puisi-puisi itu hanya merupakan rekaman pekik peperangan yang sudah banyak diketahui. Tak diragukan lagi, puisi-puisi itu adalah khas karya-karya kaum militan; apakah mereka dapat memberikan bukti lahirnya suatu generasi sastrawan yang lain daripada yang lain, tetap masih dapat diperdebatkan.

Betapa pun juga, sikap militan seperti itulah yang mewarnai penulisan sastra tahun 1966. Hampir semua sastrawan merasa tergerak dalam semacam peperangan melawan rezim lama.

Dengan goresan Manichean yang kuat, mereka mewarnai tokoh-tokoh mereka dengan warna kontras hitam dan putih.

Drama Taufiq Ismail ‘Langit Hitam’, juga karya Mochtar Lubis ‘Pangeran Wiroguno’, dengan jelas melukiskan orang-orang komunis sebagai orang-orang kafir yang kotor dan rezim lama pun disindir sebagai bangunan politik yang benar-benar korup. Konfliknya secara tipikal berlangsung antara orang-orang yang “tak bermoral” dan mereka yang saleh—dan para sastrawan, seperti dapat diduga, menyokong yang terakhir.

Sebagai akibatnya, karya-karya sastra Indonesia tahun 1966 menunjukkan sikap partisan para penulisnya. Hampir semua puisi, cerita pendek dan drama yang diterbitkan majalah Horison dalam tahun 1966 (dan segera sesudah itu) menandai suatu bab yang produktif dalam sejarah perang suci melawan apa yang disebut sebagai “kemerosotan moral” yang dikaitkan dengan suasana rezim lama. Karya-karya tersebut pada pokoknya berisi kritik sosial, yang seringkali mengemukakan kecaman marah, dengan tendensi puritan yang kuat.

Mungkin semua itu dapat dimengerti: sesudah periode yang panjang dari cara hidup yang sensual, meskipun penuh retorik revolusioner, sesudah banyak adegan “tari pergaulan” di Istana dan barisan wanita cantik dalam upacara resmi, maka reaksi yang puritan agaknya merupakan sesuatu yang tak mengejutkan. Karena itu, dengan mengambil peran melawan apa yang dianggap sebagai “kebobrokan moral” sebuah rezim yang sedang ditentang, banyak sastrawan bangkit dengan standar kesalehan yang baru.

Hal ini barangkali merupakan penjelasan yang baik bagi konstatasi Teeuw, yang menyimpulkan pendapatnya dalam tulisannya mengenai puisi Indonesia tahun 1966:

“Suatu gambaran lain yang menarik dari puisi-puisi ini ialah solidaritas mereka dengan orang tua dan orang-orang yang lebih lanjut usia—berbeda dengan generasi terdahulu di mana jurang pemisah nampaknya seringkali tak terjembatani. Nampak jelas juga sejumlah besar puisi yang bersifat keagamaan—masyarakat nampaknya kembali kepada tradisi Islam dan ketenteraman lama serta rasa komunitas yang disediakan oleh Islam bagi mereka.” [8]

Akankah ketenteraman lama dan standar kesalehan yang populer tersebut akhirnya menang?

Kata-kata yang banyak disebut segera setelah pergantian rezim dan datangnya “Orde Baru” adalah “modernisasi.” Ini berarti bahwa perubahan besar sedang disiapkan, dan banyak orang Indonesia, termasuk sastrawan, kembali berhadapan dengan pilihan lama yang merisaukan. Nampaknya suatu momen telah datang lagi guna menguji kita, apakah kita akan mempertahankan nilai-nilai serta orientasi yang ada, ataukah mengubahnya?

Banyak orang, terutama di antara kelompok sosial politik Islam di masa sesudah seruan “modernisasi” berdengung, mulai memperingatkan “bahaya westernisasi.” Perdebatan baru tak terelakkan. Dibutuhkan waktu guna mengetahui, apa yang akan dihasilkan dari semua itu.

Sesuatu yang dapat kita pastikan adalah ketidak-pastian kita sendiri —keraguan kita yang tua, mengambang antara masa silam yang menjauh dan masa depan yang tak tentu. Sebab akhirnya inilah Indonesia: suatu lingkungan kebudayaan yang tak kunjung mapan, sementara masa depan tetap, bagaimanapun juga, suatu misteri.

1958

Catatan

5] Wiratmo Sukito, penulis esei-esei filsafat di tahun 50-an, dianggap sebagai “jurubicara” kelompok Manifes Kebudayaan. H.B. Jassin sementara itu menulis serangkaian pembelaan bagi Manifes dalam majalah Sastra.

[6] Majalah Sastra, yang merupakan tempat penampilan utama karya-karya kelompok Manifes, berhenti terbit karena kesulitan manajemen dan keuangan setelah dilarangnya Manifes. Hanya majalah Basis di Yogya, sebuah bulanan intelektual yang berada dalam “wilayah” gereja Katolik setempat, yang mau memuat tulisan para pengarang Manifes. Penerbitan lain menolak, atau menerima asal penulisnya tak diketahui.

[7] H.B. Jassin, “Angkatan 66, Bangkitnya Satu Generasi”, dalam Horison, Agustus 1966.

[8] A Teeuw, Modern Indonesian Literature, Martinus Nijhoff, The Hague, 1967, hal. 255.


goenawanmohamad.com

No comments: