Wednesday, January 5, 2011

Sebuah Sajak yang Menjadi

“SEBUAH sajak yang menjadi adalah suatu dunia,” kata Chairil Anwar, dan paradoks ini bisa mengantar kita untuk melihat bagaimana puisi Indonesia mutakhir menyatakan dirinya.

Sebuah sajak yang menjadi—bukan sebuah sajak yang jadi—tidak tinggal terhenti dan tergantung pada apa yang membentuknya: kata dan konsep-konsep, “benda-benda” pampat yang tersaji dan siap untuk selesai. Sebuah sajak yang “menjadi” selama-lamanya sebuah proses, bahkan seusai dibaca. Ia senantiasa bergerak, hadir, menyelinap, setengah sembunyi, tampil kembali (dengan isyarat-isyarat baru), mencipta tak henti-hentinya, berubah, menangguhkan konklusi.

Kita tidak pernah tahu kapan dan di mana berakhirnya.

“Suatu dunia” sebaliknya bisa berarti sebuah ruang yang meskipun terbentang, punya akhir. Sebuah dunia punya garis batas. Chairil Anwar menjelaskan tentang “dunia” itu sebagai “dunia” yang diciptakan kembali sang penyair, dari “benda (materi) dan rohani, keadaan …alam dan penghidupan sekelilingnya”, dan hal-hal lain yang “berhubungan jiwa dengan dia”. Dalam arti ini kehadiran sang penyair, otoritasnya, dan lingkungan hidupnya, merupakan asal-usul dan sekaligus pemberi sosok yang definitif, sebuah mikrokosmos, kepada sebuah sajak.

Dan itulah paradoks itu: puisi bergerak antara “menjadi” dan “dunia”, sekaligus pertautan dan pergumulan yang tak habis-habisnya antara keduanya. Puisi hidup dan bertenaga dalam sifatnya sebagai proses dan keterkaitannya kepada suatu “batas”. Puisi, seperti halnya hasil karya sastra kreatif umumnya, sedikit banyak mengandung semacam premis “realisme” merepresentasikan dunia di luar sana, dan dengan demikian juga diberi batasan oleh dunia di luar sana itu, di samping mendapatkan tata tertibnya dari kesadaran simbolik—tapi serentak dengan itu juga hadir sebagai wacana yang tidak mentransmisikan pesan yang tetap kecuali bahwa dirinya sendiri harus menjadi suatu kemeriahan yang tanpa henti, dalam arus “menjadi”.

Tidak semua penyair mengakui paradoks itu. Kita sering menemukan sajak-sajak, khususnya di masa sebelum Chairil Anwar, yang kita duga hampir semata-mata merepresentasikan “dunia”, dengan suatu pengalaman bahasa yang pada dasarnya berpegang pada makna sebagai satu sosok sendiri, utuh, “univokal”, di belakang kata-kata. Bahasa puisi bahkan bagian dari sebuah agenda yang hendak menjelaskan dan mengubah “dunia” itu. Dengan demikian ia bukan saja mempunyai logos, tetapi juga mempunyai peran.

Sajak-sajak S. Takdir Alisjahbana (sebagaimana juga novel-novelnya) adalah sekadar derivasi dari pemikirannya. Bagi Takdir, agaknya, penulisan adalah sesuatu yang (mesti) disubordinasikan: tiap kata, tiap konsep, takluk kepada suatu tujuan yang oleh pengarang dikehendaki. Dalam puisi seperti ini, seperti yang nampak pada umumnya sajak-sajak masa Pujangga Baru, berlaku apa yang oleh seorang kritikus disebut sebagai “the heresy of paraphrase”, bahwa “isi” dan “bentuk” bisa dipisahkan begitu rupa sehingga kita bisa menyajikan kembali apa yang terkandung dalam sebuah sajak dalam bahasa lain, seperti yang sering diinstruksikan oleh para guru kesusastraan kita dulu dengan perintah “Ceritakanlah dengan kata-katamu sendiri!”.

Kecenderungan semacam ini tidak berhenti pada Takdir semata. Tetapi bagaimana puisi—sepanjang ia bisa disebut puisi—menghindarkan diri sepenuhnya dari paradoks yang dikemukakan Chairil?

Bahkan di kalangan penyair semasa Takdir, kita mendapatkan Sanusi Pane yang mengatakan bahwa “harga karangan sajak “bukanlah terletak “dalam maksud isinya”—dan sedikit banyaknya ia menampik puisi sebagai sesuatu yang disubordinasikan oleh “maksud-isi”. Tapi tentu saja ia tidak sejauh Sutardji Calzoum Bachri.

Kita ingat bahwa di awal tahun 1970-an sebuah “kredo puisi” pernah dikemukakan Sutardji Calzoum Bachri, ketika penyair ini masih menuliskan sajak-sajak dalam jenis yang terkumpul dalam O (1970) dan Amuk (1971): “Kata-kata bukanlah alat pengertian”, kata-kata “harus bebas menentukan dirinya sendiri”.

Tapi sebuah kredo semacam itu adalah sebuah tekad, sedangkan proses penciptaan puisi cenderung luput, membebaskan diri, baik dari tekad maupun dari statemen yang pernah diniatkan.

Sajak-sajak Sutardji bagaimanapun tidak menampilkan puisi sepenuhnya “hanya” sebagai permainan intralinguistik dari pelbagai petanda. Sebagaimana Takdir akhirnya tak bisa sepenuhnya menggusur kehadiran jouissance dalam puisi, Sutardji juga tidak bisa meniadakan premis “realisme” dalam tulisan-tulisannya: dalam sajak-sajaknya yang paling bermain-main dengan petanda sebagai petanda sekalipun ia tetap mengesankan adanya kaitan antara kata dengan hal-hal di luar diri kata itu, dan berbicara katakanlah tentang suatu “kebenaran”.

Bahkan sajak-sajaknya terakhir, yang kita baca di awal tahun 1990-an, menunjukkan bahwa ia kembali ke gerombolan besar puisi Indonesia: bahasanya, kata-katanya, adalah satu proses untuk napak tilas suatu pengalaman, dan bukannya satu mozaik yang “menentukan dirinya sendiri”.

Sejak Sutardji Calzoum Bachri menerbitkan bukunya dan memaklumkan kredonya di awal tahun 1970-an, telah lahir sejumlah penyair lain. Di antaranya adalah Radhar Panca Dahana. Dalam kumpulan Lalu Waktu ini kita temukan satu penjelasan pendiriannya tentang kata dan puisi:

Jadi, jujur saja, aku bersyair lewat kata-kata yang didahului oleh maksud, pretensi, intensi atau lebih tepatnya gelora. Tapi, jujur saja, aku tidak memiliki kekuatan yang cukup untuk menguasai kata-kata agar, misalnya, ia dapat kuisi dengan pengertian dan definisi yang cocok atau disetujui oleh intensi, maksud dan pretensik menuliskan puisi. Ia keluar begitu saja. Mengalir seperti air, melintasi imajinasi, tak tertahankan.

Dengan sadar dan jelas Radhar menampik Sutardji: ia menyatakan “bergidik” membayangkan kredo di tahun 1970-an itu. la tidak bisa mengambil sikap yang ekstrem: “Sebagaimana banyak orang, juga penyair”.

Puisi yang ditulis Radhar, seperti bisa diikuti dalam kumpulan ini, memang mendukung penyataannya itu. Lalu Waktu berisi sejumlah besar tulisan yang dalam banyak hal berbeda dengan corak yang pernah saya sebut “sajak-sajak suasana”, atau sajak-sajak yang “imagistis”. Apa yang disajikan Radhar, sebagaimana banyak puisi Indonesia sejak duapuluh tahun terakhir, barangkali bisa disebut “reflektif”: sajak-sajak yang secara sepintas nampak merupakan sajak- sajak statemen, dan sepintas lain seperti sajak argumen, tetapi pernyataan dan perdebatan itu pada hakikatnya bukan suatu konklusi pemikiran, melainkan suatu argumentasi yang berkejaran dengan kesimpulan-kesimpulan, dan kesimpulan-kesimpulan yang mrucut oleh argumentasi; dalam arti tertentu ini adalah suatu percakapan yang cerdas dengan pengalaman batin sendiri, tetapi sebenarnya juga suatu pergumulan “aku” dengan “yang lain”. Bagian akhir dari Empat Raka’at Saat Tersesat:

pernah aku merasa seluruh dunia cuma mimpi,
jadi aku tertidur terus menerus. dalam tidur itu
aku hanya bisa berharap bisa siuman. terus
menerus berharap, tapi mimpiku tak juga usai. tak
akan usai, karena tiada awal, bagaimana ada
ujungnya. waktu tak ada. tiada yang kumengerti
juga. semua terjadi, meloncat seperti kelinci. ada
akal ada tipu daya, mana makna? aku menguap.

Puisi yang semacam itu pada hakikatnya memang tidak dimaksudkan untuk melawan tafsir—jika tafsir dianggap sebagai suatu kekerasan dan kesewenang-wenangan terhadap teks. Tetapi puisi semacam ini juga tidak hadir sebagai suatu pernyataan yang maknanya oleh seorang pembaca hanya tinggal diterima, dan dengan demikian sang penyair sepenuhnya menentukan maksudnya. Kalimat-kalimat dalam puisi Radhar, ditampilkan tanpa huruf kapital yang menandai awal dan akhir, seakan-akan tidak ingin menjadi pernyataan-pernyataan yang final dan tertutup. Namun tidak pula pembaca mempunyai kedaulatan penuh menginterpretasikannya semau dia.

Puisi semacam ini barangkali memberikan kedaulatan itu kepada teksnya sendiri untuk berbicara menurut dorongannya sendiri (Umberto Eco punya istilah untuk itu, intentio operis), tatkala sang penyair surut ke belakang sejenak, seperti dikatakannya, “mana makna? aku menguap”.

Puisi Radhar bagaimanapun bukanlah ibarat awan: sesuatu yang nampak bergumpal tetapi sebenarnya sesuatu yang seraya melayang, cair, dan tak bertaut dengan sebuah “dunia”. Sajak-sajak dalam Lain Waktu memang sering memperlihatkan sikap Radhar yang menyatakan menampik apa yang konon dikatakan Derrida, bahwa “sejak kini puisi telah menjadi yatim piatu”. Dan dalam hal itu ia memang penerus tradisi pokok persajakan Indonesia. “Betapa arif pujangga kita dahulu”, tulisnya. “Lebih banyak secara tak sadar, 28 tahunku menjadi murid setia sejarah yang arif dan naif.”

Maka tidak mengherankan bila ia terkadang menggunakan kemhali metafora yang sudah (”laut”, “badai”, “perahu”), dan kesadarannya untuk memasukkan kata-kata yang tak galib dalam puisi Indonesia, (”kriminalitas religius”, “berpetak umpet”, “disket kesadaran”, “virus recehan”), bukanlah untuk mengguncang tradisi bahasa puisi semenjak tahun 1920-an. Dalam tradisi ini, puisi punya urusan untuk menawarkan argumen, puisi mengandung suatu pernyataan tentang kebenaran, walaupun tidak selamanya harus berupa rumusan yang mati; senantiasa ada kontinuitas antara puisi dan discourse yang bukan puisi, yang sudah kita dapatkan sejak zaman syair dahulu kala.

Apabila kita membaca sajak-sajak yang dimuat dalam Tonggak, sebuah antologi penting yang disusun oleh Linus Suryadi AG, kita akan mendapatkan, bahwa pada umumnya puisi Indonesia—termasuk yang ditulis selama 20 tahun terakhir, sebagaimana termaktub dalam jilid ke-4 antologi itu—memang tidak banyak berubah dari tradisi yang saya sebut di atas. Kita memang pernah mengalami letupan-letupan Chairil, misalnya dalam sajak 1943, di mana kejelas-pastian bahasa dalam corak puisi sebelumnya nampak menjadi nisbi. Kita juga pernah bertemu dengan puisi dan statemen Sutardji, yang menyatakan tak hendak mensubordinasikan kata kepada makna, dan terkadang kita membaca sikap bermain-main, semacam kenakalan “Manippean”, dalam sajak Darmanto Jt. Tetapi jejaknya tidak panjang.

Barangkali situasi tempat bahasa puisi Indonesia tumbuh tidak memungkinkan terlampau berkecamuknya ekspresi yang menyampaikan tanda dan makna pra-simbolik, yang oleh Julia Kristeva di sebut sebagsi “semiotik” (dalam arti le semiotic). Kristeva mengkaitkannya dengan satu fase dalam bahasa kanak-kanak yang lahir dalam bunyi, warna nada, dan irama, ketimbang dalam simbol-simbol yang dikontrol oleh kesadaran.

Bunyi, warna nada, dan irama memang sesuatu yang tidak bisa lahir begitu saja dalam bahasa puisi Indonesia, yang seperti halnya bahasa Prancis, dan berbeda dari bahasa Inggris, tidak mempunyai tekanan suku kata yang beragam, dan lagipula kurang variasinya dalam kombinasi vokal dan konsonan.

Keadaan itu belum nampak berubah sejak sajak-sajak Amir Hamzah di tahun 1930-an, dan mungkin ini menunjukkan belum banyak percobaan baru dalam menghadirkan materil atau “tubuh” bagi suatu ekspresi yang sifatnya pra-simbolik misalnya melalui timbre suara ataupun ritme, seperti yang dilakukan Stephen Mallarme di dalam bahasa puisi Prancis, setidaknya menurut Kristeva, hingga suasana makna pun muncrat dan ramai, semakin majemuk, di mana logos tidak lagi memonopoli arti.

Memang nampak bahwa kesadaran, “bapak” yang berwibawa mengatur dan melancarkan komunikasi dunia simbolik itu, hadir secara dominan dalam tradisi bahasa puisi Indonesia, sebagaimana ia hadir dalam hubungan-hubungan sosial di masyarakat kita. Barangkali ini juga ada hubungannya dengan tendensi para penyair untuk menempatkan diri, atau ditempatkan, dalam posisi kecendekiawanan, yang menyampaikan kegundahan zamannya dari dan kepada masyarakat tempat ia hidup. Ia tak punya banyak pilihan.

Puisi di sini bukanlah nonsens. Bahkan puisi di sini bukan hanya punya urusan menyatakan apa yang disebut kebenaran, tetapi juga mengkomunikasikannya. Setidaknya sampai sekarang.

Dalam sebuah perjalanan ke Eropa Timur di tahun 1991, setelah rezim-rezim komunis runtuh, seorang cendekiawan Polandia mengatakan kepada saya bahwa orang di Warsawa, Moskow atau Praha, tidak lagi mendatangi pembacaan puisi seperti dulu. “Sebab sekarang televisi dan suratkabar juga sudah mengatakan apa yang benar,” katanya.

Saya tak tahu apakah yang terjadi di Eropa Timur itu suatu kehilangan atau bukan. Tapi di Indonesia kini, untuk alasan yang sama, agaknya puisi Indonesia, dan tentu saja puisi Radhar, masih penting untuk didatangi, untuk dibaca.

Ditulis pada 1994 untuk kata pengantar antologi puisi Lalu Waktu karya Radhar Panca Dahana. Diterbitkan ulang dalam buku Setelah Revolusi Tak Ada Lagi, hlm. 360-368


goenawanmohamad.com

No comments: