Thursday, January 20, 2011

Puisi yang Berpijak di Bumi Sendiri

Di awal tahun 1956 seorang penelaah sastra berkata: “…pada umumnya penyar kini ingin mencari pijakan kepada buminya”. Sungguh menarik ucapan seperti itu. Kesimpulan bahwa para para penyair “tidak terlepas dari alam tanah airnya sendiri”, banyak dikatakan tentang puisi Indonesia sesudah Chairil Anwar, puisi tahun 1950-an. *

Puisi tahun 1950-an memang memperlihatkan banyaknya lanskap, lukisan alam couleur locale atau warna setempat, tema-tema dari dongeng rakyat, pastoral-pastoral yang tenteram. Sukarlah disangkal bahwa itu semua bukan identias kesusatraan mutakhir kita juga pada akhirnya. Apakah sebabnya?

Orang mengatakan bahwa zaman zaman berbeda dari masa sekitar 1945, bahwa suasana telah berganti. Tapi meskipun kesusastraan adalah suatu kesaksian atas kondisi manusia dalam keadaan dan waktu tertentu, ia bukanlah replika yang lengkap dari sang zaman. Lagipula perlu diingat bahwa ciri kesusastraan di suatu masa kadang-kadang dilahirkan oleh beberapa pribadi yang punya latar belakang pengalaman sendiri tanpa ada hubungannya secara langsung dengan keadaan sosial di masanya. Barangkali demikianlah juga halnya dengan soal banyaknya lukisan alam dan warna setempat dalam puisi Indonesia mutakhir.

Tidak mungkinkah itu disebabkan karena para penyair tahun 1950-an, misalnya Ramadhan KH dengan Priangan Si Jelita-nya, bertemu dengan Lorca? Sebagaimana Chairil Anwar bertemu dengan Marsman, yang menyebabkan puisinya tidak membayangkan kemesraan hubungan dengan alam “lokal”?

Tapi bahwa puisi Chairil-Marsman melahirkan “mode” atau gaya puisi semasa yang tersendiri di sekitar tahun 1945, dan bahwa puisi semacam Ramadhan-Lorca, Kirdjomulyo dan WS Rendra (yang lebih mesra dengan alam “lokal”) banyak terdapat di masa sesudahnya, hal itu memang bisa disebabkan karena perbedaan zaman. Suatu “mode” bisa berpengaruh di suatu masa karena memang orang-orang di masa itu merasa cocok dengannya.Mungkin zaman setelah 1945 telah memberikan kesempatan untuk melihat alam Indonesia, tanah air sendiri ini. Mungkin masa mutakhir telah menumbuhkan kesadaran nasional yang lebih tajam, dan itu berpengaruh pada kesuasastraan. Nambun bagi saya sebuah karya sastra yang mempunya “rasa nasionalisme yang hanyut dalam urat-urat darahnya” tidaklah bisa ditentukan dari kadar warna lanskap yang dibawakannya.

Sebab warna lanskap, gunung, kehijauan, pantai dan lain-lainnya lahir dalam puisi karena pertemuan langsung antara alam dan sang penyair. Manusia ada dan menjumpai dirinya di dalam alam dengan segala ketakjubannya, bagaimana hendak mati diam dalam kesepiannya yang tak terbatas, sementara dihadapinya “bau-bauan, warna-warna dan suara saling bersahutan” seperti dikatakan dalam sebuah sajak Baudelaire?

Warna lanskap dalam puisi adalah penjelamaan tenaga-menghubungkan yang ada dalam diri sang penyair dengan alam sekitarnya. Hubungan itu langsung begitu saja. Ia adalah simpati yang jernih dalam ada bersama dengan alam, lingkungan luas hidup.Pengertian tentang tanah air, tanah tumpah-darah dan nasionalisme dalam keadaan itu tidak lebih daripada ketentuan-ketentuan yang dipelajari.

Pada mula dan pada dasarnya puisi tentang alam sebenarnya tidak bertanah air. “Tanah air” atau bumi kelahirannya pada hakikatnya sebuah daerah yang bersifat terbuka, melepaskan diri dari segala batasan ajaran. Oleh sebab itu mempertaruhkan ke-nasional-an puisi kita pada adanya lukisan alam Indonesia, nama-nama kota dan tempat Indonesia dan menyimpulkan bahwa tulah tanda puisi yang berpijak pada bumi sendiri, tidak selalu tepat dengan kenyataan.

Sajak Kerinduan Mawar Gunung Mansur Samin, misalnya, yang prnah diambil sebagai satu contoh oleh para penganjur puisi di bumi sendiri bisa saja dbuat oleh seorang penyair dari sembarang tempat. Sajak semacam itu bisa saja dibuat seorang pengunjung asing tentang Indonesia, bukan puisi khas Indonesia, walau pun kata-kata seperti “Gadis Kubu”, “Batik Bengawan”, atau “Bukit Barisan dengan paranya” ditambahkan dengan tiga kali lipat.

Nampaknya dalam pembicaraan-pembicaraan tentang “puisi yang berpijak di bumi sendiri” atau yang tidak terlepas dari alam tanah airnya sendri, yang sedang dicari memang suatu kesusastraan nasional. Orang berpengharapan untuk melihat ciptaan yang bertanda ke-Indonesia-an. Tapi soal bagaimana itu mestinya, itu bukanlah urusan penyair dalam mencipta. Salah satu kekebasan seorang pencipta adalah kebebasannya dari sikap kolektif yang mengikat diri, dan bahaya orang yang terlalu memperhatikan “rumus-rumus” umum yang dikenakan di atas kesadaran keseorangan ialah terbentuknya diri dalam lindungan kolektivisme. Hasilnya nanti akan lebih dari tukang proyeksi “suara umum” dan penyodoran kemutlakan ajaran.

Persepsi tiap penyair adalah miliknya sendiri, dengan kekuatan dan sifat unik yang hanya mungkin apabila ia mempunyai kejujuran yang fundamental dalam mencerapkan alam sekitarnya. Sampai sejauh manakah manfaat kita berbicara tentang “penyair Indonesia” dengan mendesakkan bahwa yang harus dipertegas adalah predikat “Indonesia” dan baru sesuadah itu ditentukan arti “penyair”- nya?

Penyair manapun yang baik, kehadirannya mula pertama adalah sebagai seorang penyair. Lebih jauh lagi seorang manusia dengan semua masalahnya, dalam suatu kehidupan. Hasil sastranya pun bukan hasil suatu eksemplar dari suatu jumlah, tetapi hasil keseorangan yang betul-betul utuh. Mengenai itu tentulah kita semua sudah memakluminya.

Meskipun demikian, pertanyaan “betapakah puisi nasional itu ada” adalah sesuatu yang wajar. Maka jika kita seperti tadi dinyatakan bahwa warna alam dan penggambaran lanskap dalam puisi bukanlah pertanda semangat ataupun ciri nasional kita, tak berarti kita lalu bisa menganggapnya remeh. Perhatian terhadap alam memang dapat membangkitkan kesadaran nasional yang jujur dan murni dalam diri seorang penyair. Tapi baiklah diingat kata-kata Sitor Situmprang: “Seniman yang berpibadi dengan sendirinya akan membawa sifat nasional.”

Puisinya adalah dialog, dan dialog menolak keasingan. Dialog juga menolak ketidakjujuran. Apabila ia berbicara tentang lanskap dengan segala warnanya, bukanlah karena acara selebihnya sudah habis sedang hasrat masih menyala, tapi karena memang ada yang ditemuinya. Dengan demikian dalam apa yang dibawakannya terkandung semacam kekuatan, dengan emrasakan hidup dalam satu gairah, suatu kekuatan yang mungkin bisa memecahkan masalah-masalah lingkungan kebudayaan kita ini.

Sebab puisi, “serpihan” dari hidup ini, barangkali akan ada harganya dengan lebih menyadarkan kita, bahwa kita bukanlah cuma sebuah jendela yang menangkap satu lanskap di luar sana.

17 April 1960
—————————————————–
* Dalam prasaran Rahmadi Ps dan S.K. Wirjono pada simposium Hari Puisi di Surakarta, 11 Januari 1956. Dimuat dalam Budaya, nomor Februari-Maret 1956, tahun V. Baca pula tinjauan Armaya tentang sajak-sajak DS Moeljanto, ruangan kebudayaan Manifestasi, harian Abadi, 16 April 1960: “…penyair ini tidak asing akan tanah airnya. Suasana tempat dan waktu selalu hanyut dalam tema-tema puisi-puisinya, dan waris nenek moyangnya tidak saja dilupakan…. Barangkali dengan bahasa lain dapat dikatakan bahwa rasa nasionalisme hanyut dalam urat-urat darahnya.


goenawanmohamad.com

No comments: